(1)
Sebagai hiburan,
pergeleran keagungan melayu 4 beberapa malam lalu telah memenuhi targetnya,
tetapi sebagai "pertaruhan" karya seni pertunjukan, terutama bagi
sang sutradara, banyak hal yang mesti diketengahkan. Harmoni tidak selalu
mewujud dalam serempak dan serangkaian. Berentetan tidak juga melulu dalam
makna harfiahnya. Kita (penonton) kehilangn "jeda" yang memungkinkan
masing-masing kita memadupadankan antara satu materi seni dengan yang lainnya,
yang jika betul-betul digarap, kita (penonton) akan memasuki dua dimensi yang
bertautan: historisitas dan aktualitas. Di situlah, refleksi mendapat
pembenarannya. Jika tidak, hendak kemana "semangat zaman" dilabuhkan!
Terlebih, usaha pencatatan, ambil misal, penjelasan kenapa memilih sebuah tema,
sebagaimana tradisi itu selalu dilakukan pada pergeleran sebelumnya, tidak
dilakukan. Bahkan, anehya, keagungan dan marwah dipandang sebagai dua hal yang
berbeda, sehingga perlu diletakkan dalam satu "hidangan", yang
sejatinya itu justru satu kesatuan. Menolak Klise! (7/1/15)
(2)
Festival Batanghari
yang diselenggarakan oleh Disbudpar Prov. Jambi baru-baru ini, tak ubahnya
pesta kesenian tahunan . Hanya berganti kemasan, yang sebelumnya bertajuk Pekan
Pesona Budaya Jambi. Yang kita jumpai klangenan, bukan kegelisahan estetik
sekaligus refleksi sosio-historis terhadap Batanghari (ulu-ilir) sebagai arena
kebudayaan yang dicirikan dengan kecermatan berpikir, kelenturan budaya, dan
keterbukaan terhadap dunia luar. Ramai yang menyebutkan Batanghari sebagai
ikon, tetapi sesungguhnya secara telak kita melakukan pembekuan. Dengan
peribaratan, air yang telah bercampur dengan lumpur sedimentasi di sepanjang
daerah aliran sungai (DAS) Batanghari telah sampai ke sumsum jati diri, sehingga
menjadikannya keruh dan membuat sanggat perah-perahu yang ingin berkayuh. Apa
pasal? Ikonisasi, tanpa didasari refleksi kebudayaan yang mengakar kuat pada
sejarah, hanya menjadikannya sebagai monumen mati. Tak ayal, begitu banyak
kehendak untuk menghadirkan ikon-ikon di Tanah Pilih Pusako Betuah saat ini,
tetapi itu semua hanyalah proyektifikasi, karena, sekali lagi, yang
mendasarinya adalah dagang. Dari ihwal seperti ini, tentu bukan ratap dan
kesedihan yang tidak berketentuan yang ditawarkan, tetapi suatu ajakan untuk
menggali dan mengail kesadaran, bahwa "MENGANGKAT BATANG TERENDAM"
bukan bahasa slogan, tetapi sikap kebudayaan yang mesti didewasakan, dengan
tujuan, memulai suatu ancangan dan pemahaman yang bernuansa pewarisan kepada
masa depan dan kemanusiaan. Mari menziarah Batanghari! Mengenali diri sendiri.
(November 2014)
(3)
Sepuluh tahun kita diampu oleh para menteri yang
berpakaian rapi, bertingkah santun, berpendidikan tinggi, dan berkomunikasi
canggih, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, korupsi! lalu, saat ini kita
dipertemukan dengan sosok menteri yang berterus terang, tamat SMP, merokok,
bertato, dan berprestasi dalam dunia yang digelutinya, sebagian dari kita
langsung menghakiminya sebagai tindakan yang seolah "ilegal."
Nampaknya, peribahasa yang berbunyi "Mensana In Corporeseno" menemui
cakap-renungnya dalam diskursus publik kita. (Pasca penetapan kabinet kerja
Jokowi)
(4)
Mengamati laku politik para elit di negeri
ini, mengingatkan saya pada Thomas Hobbes yang melukiskan kekuasan yang begitu
besar dengan sebutan "Leviathan." Hanya saja, dewasa ini wujud
praktik leviathan tersebut tidak tampil bak otoritarianisme Orde Baru, tetapi
datang dengan wajahnya yang baru dalam lanskap demokrasi prosedural. Waspada!
(5)
“Salah satu tugas
penting para profesor di perguruan tinggi adalah menulis buku. Kalau tidak
menulis buku, ya membuat tulisan untuk dikumpulkan sebagai buku. Sedang tugas
profesor lainnya adalah membaca, menjadi pembicara dan meneliti. Kalau empat
tugas itu tidak dikerjakan, ya profesor itu pasti tidur,". (Prof Ir Eko
Budihardjo Msc). Nah, bagaimana para profesor di perguruan tinggi di Jambi? Apa
buku yang telah dihasilkannya?.
(6)
Kritik saya terhadap
Hatta Radjasa dalam debat Cawapres beberapa waktu lalu adalah penggunaan bahasa
dan istilah asing yang bertubi-tubi. Menularnya penyakit sok-Inggris di
kalangan pejabat di republik ini menunjukkan, bahasa Indonesia hanya menjadi
keranjang sampah bagi kata-kata berbahasa Inggris. Berbeda dengan Indonesia,
yang melintaskan kata-kata bahasa Inggris secara bulat, di Malaysia, Arab, dan
Jepang, kata-kata Bahasa Inggris justru telah dimatikan sesuai dengan lafaz yang berlaku di alam masing-masing bahasa tuturnya. Maka, relevan kata
Alif Danya Munsyi, kita (terutama pejabat di repubrik ini) patut menimba
konfidensi Bangsa-bangsa Eropa di sekitar perbatasan dengan Inggris menyangkut
“pertahanan” yang kuat terhadap bahasanya. Di atas itu semua, saya menaruh
keprihatinan, bila penggunaaan istilah asing hanya bagian dari panggung
sandiwara, dengan tujuan agar terlihat lebih intelek, padahal di baliknya,
menyembul persoalan mendasar yaitu pola komunikasi yang dibangun telah mereduksi
esensi dari percakapan (dialog) itu sendiri.
(7)
Dalam biografi Roeslan
Abdul Gani, kita membaca perbandingan yang amat mencolok antara generasi tua
dan generasi baru. Generasi Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia
Socrates, Plato, Marx, Rever, dan banyak yang lain. Pikiran mereka dibanjiri oleh
mimpi-mimpi literatur Shakespeare, komposisi Mozart, dan membayangkan sebuah
dunia utopis. Generasi baru punya mimpi lain: mengendarai Lamborgini, ditemani
oleh lagu-lagu Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi (Retnowati
Abdoelgani-Knapp, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia.
Singapore-Kuala Lumpur: Times Books International, 2003, h. 227). Sekalipun
kita tidak boleh membuat generalisasi antara dua generasi, tetapi sebagian
generasi memang telah kehilangan idealisme, termasuk para politisi yang muncul
dewasa ini. bukan begitu?
(8)
Dialog Beranda Budaya
TVRI Jambi (3/08/13). Tema: Tradisi Masyarakat Jambi Menyambut Bulan Ramadan
dan Hari Raya Idul Fitri. Semoga tradisi masyarakat Jambi sepanjang Ramadan
serta hari raya Idul Fitri memperkaya literatur keagamaan kita. Shaum, sebagai
konsep dasar hubungan secara langsung antara hamba dan Tuhannya (vertikal),
melahirkan beragam perlakuan budaya antar sesama (vertikal). Kedudukan puasa
dalam beragam tradisi di tengah masyarakat Jambi tidak semata-mata mengandung makna ‘cultus privatus’, tetapi juga ‘cultus publicus’. Dengan
demikian, untuk memperkaya horison kegamaan kita dalam kaitan Ramadan dalam
perspektif Islam dan sosio-antropologi, kegiatan penulisan ataupun pendokumentasian
tentangnya adalah sebuah usaha yang sangat beralasan. "Ramadanic ritual
complex", simpul Andre Moller. "Orang Batak Berpuasa", tulis
Baharuddin Aritonang. Maka Jambi juga membutuhkan tulisan atau kajian tentang
dirinya dalam bingkai yang sama. Salam jabat erat. Semoga kita termasuk
orang-orang yang berhasil meraih kemenangan di bulan yang suci ini.Amin (4/08/13)
(9)
Sebagaimana rumput,
kita tidak bisa menariknya secara paksa agar tumbuh lebih cepat. Hal terbaik
yang bisa kita lakukan adalah memberinya kesempatan untuk tumbuh secara wajar.
(10)
fenomena di jambi
akhir-akhir ini, umumnya masyarakat dari berbagai kelas, terutama kaum remaja,
rela berdesak-desakan untuk menyaksikan Rumah Sakit Pirau: misteri sebuah rumah
sakit berpenghuni hantu dan sebutan lainnya. hemat saya, konsep wisata di atas
bukan lagi sebatas ruang uji nyali, tapi bukti berbagai komoditi irasional
dengan sangat mudah diterima oleh masyarakat di sini.(30/03/13)
(11)
Memandang Kejambian Kita. Sejarah dan kondisi sosial mengamini wataknya yang terbuka. Tempat ketegangan sekaligus harmoni mengiringi risalah panjangnya. Semacam juwita, digilai banyak pria. Namun haruskah ia terjerat dalam sebuah paham yang menutup diri pada segala kemungkinan untuk maju dalam gerak indvidu-individu yang merdeka atau hanya berhenti pada gerak karikatural semata. Tanah pilih, sesungguhnya adalah lahan subur bagi kebangunan cita-cita. sementara Lahan tandus, sesunggunya adalah akibat dari konstruksi identitas yang menafikan 'lian'. Memandang Kejambian Kita merupakan rangkaian dialog yang tak henti-hentinya sekaligus menjemput masa depan yang tiada henti memberi kita kesempatan. (6/1/13)
(12)
gerakan intelektual itu ditandai oleh usaha untuk menonjolkan nilai daya nalar dan budaya manusia.bukan ngota, juga bukan asal bunyi, sehingga jelas mana maju, dan mana mundur. (16/12/12)
(13)
saat kuliah, kawan-kawan saya di ARENA selalu berkata:
Kuliah orak tau melebu/Demo rak tau melu/Ngomong rak tau mutu./Mulih wae Dab! (13/10/12)
(14)
bagi banyak kepala daerah, membuka perizinan pendirian mal lebih menggiurkan dibanding membenahi pasar, mengeksplorasi sumberdaya kerajinan, promosi budaya lokal dan produk asli daerah lainnya. Entah sampai kapan para kepala daerah sadar bahwa membangkitkan ekonomi daerah itu justru berasal dari keragaman yang dimiliki masyarakatnya. (15/6/12)
(16)
Indonesia Berduka, setelah kiai sepuh KH Abdullah Faqih meninggal dunia pada Rabu (29/2), kini tokoh kharismatik KH. Raden Fawaid As'ad, Pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo-Jatim, kembali ke rahmatullah pada hari Jumat (9/3). Semoga keduanya mendapat tempat terbaik di sisiNya.amin. Mengenangnya mengingatkan pengalaman saya di Pon-Pes dengan ribuan santrinya. Alhamdulillah, saat bulan ramdhan tiba, jika saya tak pulang kampung ke Jambi, dari Pon-Pes Tebuireng-Jombang, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke Situbundo, bahkan beberapa kali ngaji di rumah KH Raden Fawaid. (11/03/12)
(17)
Terimakasih buat segenap masyarakat Jambi yang sudah berkenan membubuhkan tandatangan di petisi: Selamatkan Kawasan Percandian Muarajambi". juga buat kawan-kawan yang secara khsusus datang dari Muarajambi. Minggu yang indah, dengan alunan lagu, puisi dan teater untuk kebangunan percandian muarajambi. Lebih dari itu, kebersamaan kita adalah kesaksian pada sebuah paradaban yang pernah hidup di Jambi. Ke depan, tentulah spirit itu membuka paradigma baru tentang sikap dan visi kita terhadap tinggalan budaya Jambi,dan gerakan-gerakan semacam tak boleh berhenti. Sekali lagi, luas kawasan percandian muarajambi yang 31 kali lebih luas dari Borobudur adalah kekayaan, dan jangan sampai menjadi malapetaka. (26/2/12)
(11)
Memandang Kejambian Kita. Sejarah dan kondisi sosial mengamini wataknya yang terbuka. Tempat ketegangan sekaligus harmoni mengiringi risalah panjangnya. Semacam juwita, digilai banyak pria. Namun haruskah ia terjerat dalam sebuah paham yang menutup diri pada segala kemungkinan untuk maju dalam gerak indvidu-individu yang merdeka atau hanya berhenti pada gerak karikatural semata. Tanah pilih, sesungguhnya adalah lahan subur bagi kebangunan cita-cita. sementara Lahan tandus, sesunggunya adalah akibat dari konstruksi identitas yang menafikan 'lian'. Memandang Kejambian Kita merupakan rangkaian dialog yang tak henti-hentinya sekaligus menjemput masa depan yang tiada henti memberi kita kesempatan. (6/1/13)
(12)
gerakan intelektual itu ditandai oleh usaha untuk menonjolkan nilai daya nalar dan budaya manusia.bukan ngota, juga bukan asal bunyi, sehingga jelas mana maju, dan mana mundur. (16/12/12)
(13)
saat kuliah, kawan-kawan saya di ARENA selalu berkata:
Kuliah orak tau melebu/Demo rak tau melu/Ngomong rak tau mutu./Mulih wae Dab! (13/10/12)
(14)
bagi banyak kepala daerah, membuka perizinan pendirian mal lebih menggiurkan dibanding membenahi pasar, mengeksplorasi sumberdaya kerajinan, promosi budaya lokal dan produk asli daerah lainnya. Entah sampai kapan para kepala daerah sadar bahwa membangkitkan ekonomi daerah itu justru berasal dari keragaman yang dimiliki masyarakatnya. (15/6/12)
(15)
Desentralisasi-buah dari reformasi politik di Indonesia-telah membuka ‘kota pandora’ identitas masing-masing daerah di negeri ini. Identitas menjadi hal yang sangat terbuka untuk ditafsirkan kembali, ditangkap, dan dimanfaat dalam proses sosial dan negosiasi politik, dan juga dikembalikan pada ruang kultural. Pendek kata, memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde-orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka.
Hal itu ditandai di ‘Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah’, dengan lahir semangat mengangkat kembali batang terendam, yakni Kesultanan Melayu Jambi.
Gejala tersebut di banyak daerah di tanah air, selain aktivasi adat, Kesultanan menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa lalu. Tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Semoga Kesultanan Melayu Jambi kembali mempertegas ruang kulturalnnya, dengan menghadirkan iklim budaya yang menghargai individu-individu yang merdeka-sebuah keniscayaan dalam proses penciptaan, dan yang terpenting tidak terjebak pada kepentingan politik praktis.karena di situlah keistimewaannya. Bukan pada pencitraan tapi substansi kebangunan sejarah dan budaya melayu Jambi.Salam Budaya (ket photo: Diskusi Budaya Dewan Kesenian Jambi 'Mempertanyakan Kebangkitan Kesultanan Melayu Jambi'.10/03)
Indonesia Berduka, setelah kiai sepuh KH Abdullah Faqih meninggal dunia pada Rabu (29/2), kini tokoh kharismatik KH. Raden Fawaid As'ad, Pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo-Jatim, kembali ke rahmatullah pada hari Jumat (9/3). Semoga keduanya mendapat tempat terbaik di sisiNya.amin. Mengenangnya mengingatkan pengalaman saya di Pon-Pes dengan ribuan santrinya. Alhamdulillah, saat bulan ramdhan tiba, jika saya tak pulang kampung ke Jambi, dari Pon-Pes Tebuireng-Jombang, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke Situbundo, bahkan beberapa kali ngaji di rumah KH Raden Fawaid. (11/03/12)
(17)
Terimakasih buat segenap masyarakat Jambi yang sudah berkenan membubuhkan tandatangan di petisi: Selamatkan Kawasan Percandian Muarajambi". juga buat kawan-kawan yang secara khsusus datang dari Muarajambi. Minggu yang indah, dengan alunan lagu, puisi dan teater untuk kebangunan percandian muarajambi. Lebih dari itu, kebersamaan kita adalah kesaksian pada sebuah paradaban yang pernah hidup di Jambi. Ke depan, tentulah spirit itu membuka paradigma baru tentang sikap dan visi kita terhadap tinggalan budaya Jambi,dan gerakan-gerakan semacam tak boleh berhenti. Sekali lagi, luas kawasan percandian muarajambi yang 31 kali lebih luas dari Borobudur adalah kekayaan, dan jangan sampai menjadi malapetaka. (26/2/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar